Monday, November 14, 2011

Sun Tzu, The Art of War (introduction)


Sun Tzu adalah penduduk asili dari negara Ch'i. Karyanya Art of War telah menarik perhatian Ho Lu, Raja dari negara Wu. Ho Lu kemudian berkata kepadanya, "Aku telah membaca ke-13 bab yang telah kau tulis. Bolehkan teorimu dalam mengatur pasukan diujicobakan?"
Sun Tzu menjawab, "Tentu saja."

Ho Lu kemudian bertanya kembali, "Bisakah diujicobakan pada kalangan wanita?"
Jawabannya tetap saja bisa, sehingga kemudian 180 orang wanita dari istana di bawa keluar. Sun Tzu membagi mereka menjadi dua kelompok, dan kemudian tiap kelompok dikepalai oleh selir kesukaan Raja. Kemudian tombak dipersiapkan di masing-masing pasukan dan kemudian memberikan penjelasan kepada mereka, "Aku anggap kalian tahu perbedaan antara depan dan belakang, tangan kanan dan tangan kiri?"

Para wanita tersebut menjawab, "Ya, kami tahu."
Sun Tzu kemudian melanjutkan, 'Ketika aku katakan 'Mata di depan', kamu harus melihat ke depan. Ketika aku bilang 'Tengok Kiri', kalian harus menghadapkan tubuh ke arah tangan kiri. Dan ketika aku bilang 'Tengok Kanan', kalian harus menghadapkan tubuh ke arah tangan kanan kalian. Dan bila aku bilang 'Berbalik', kalian harus menghadapkan tubuh ke arah belakang.
Para wanita itu mengiyakan. Kata-kata perintah telah dijelaskan. Dia kemudian mengatur kapak perang untuk memulai latihan. Kemudian, bersamaan dengan suara gendang yang ditabuh, dia memberikan perintah 'Tengok Kanan'. Tetapi para wanita ini hanya tertawa terbahak-bahak. Sun Tzu berkata: Bila kata-kata perintah tidak jelas dan jernih, bila perintah tidak dipahami sepenuhnya, jendral lah yang harus disalahkan".

Maka ia melatih mereka lagi, dan kali ini ia memerintahkan 'Tengok Kiri' kepada para wanita tersebut, namun mereka kembali tertawa terbahak-bahak. Sun Tzu berkata, "Bila kata-kata perintah tidak jelas dan jernih, bila perintah tidak dipahami, jendral lah yang harus disalahkan. Tapi bila perintahnya sudah jelas, dan para prajuit tetap tidak patuh, maka kesalahan ada pada kepala pasukan."

Kemudian, ternyata dia memerintahkan kepala pasukan dari kedua kelompok untuk dipenggal kepalanya. Raja Wu yang melihat kejadian ini dari atas paviliun, ia kaget karena melihat dua selirnya akan dipenggal, kemudian ia bersegera memberi pesan dan perintah. "Kami cukup puas dengan kemampuan jendral kami menangani tentara. Bila kami kehilangan dua selir ini maka makanan dan minuman kami akan terasa hambar. Kami harapkan mereka untuk tidak dipenggal.

Sun Tzu membalas, "ketika menerima perintah Yang Mulia untuk menjadi jendral pasukan ini, ada beberapa perintah Yang Mulia, sesua dengan kapasitas yang diberikan, tidak bisa saya terima."

Selanjutnya, dua kepala pasukan kemudian dipenggal, dan segera dicarikan pengganti sebagai pimpinan pasukan. Ketika ini sudah terlaksana, genderang sekali lagi ditabuh untuk latihan sekali lagi. Setelah itu para wanita bervolusi, menghadap kiri, kanan, bergerak ke depan atau memutar ke belakang, berlutut, atau berdiri, semua dilakukan dengan akurasi dan ketepatan yang sempurna, tanpa ada keluhan atau suara apapun. Kemudian Sun Tzu mengirim seorang untuk menyampaikan pesan kepada Raja. "Prajurit Yang Mulia, sekaran ini telah dilatih dan disiplinkan, dan siap untuk diinspeksi. Mereka siap diperintahkan untuk apapun. Perintahkan mereka melalui api dan air, dan mereka akan patuh.

Tetapi Sang Raja membalas, "Biarlah jendral kami menghentikan latihannya dan kembali ke kemahnya. Sementara bagi kami, kami tidak berhasrat untuk turun dan menginspeksi pasukan."

Sun Tzu kemudian berkata, "Yang Mulia hanya senang dengan ucapan-ucapan, dan tidak bisa menerjemahkannya dalam tindakan nyata."

Setelah itu, Ho Lu menyatakan bahwa Sun Tzu adalah seseorang yang tahu bagaimana menangani sebuah pasukan, dan kemudian menunjuknya sebagai jendral. Di daerah barat, dia mengalahkan Negara Ch'u dan terus bergerak ke Ying, Ibukotanya. Di daerah utara dia memberikan sensasi takut pada negara Ch'i dan Chin, dan menyebarkan kedigdayaannya kepada para pangeran. Dan Sun Tzu berbagi kejayaan Rajanya.

Dari buku Sun Tzu The Art of War dengan terjemahan bebas rasa Anas

Tuesday, October 11, 2011

Data Josep "Pep" Guardiola

Josep Guardiola

Nama lengkap : Josep Guardiola i Sala
TTL : Santpedor, Barcelona, 18 Januari 1971
Tinggi : 1,83 m
Posisi Bermain : Gelandang Bertahan

Pencapaian sebagai pelatih

http://id.wikipedia.org/wiki/Josep_Guardiola
Data dari

Belajar Kebebasan dari Senor Guardiola

Siapa yang tidak kenal dengan Pep Guardiola? Muda, sukses sebagai pemain dan sekarang manajer di Klub FC. Barcelona. Ia memiliki pemain-pemain yang brilian. Tapi tetap saja kesuksesan itu berasal dari kemampuan senor Guardiola dalam meramu permainan.

Tapi ada hal menarik yang bisa kita pelajari dari diri Guardiola yang mungkin sangat jarang kita dapatkan di pribadi yang lain. Mantan pemain Barcelona yang dulu berposisi sebagai gelandang bertahan tersebut saat ini hanya memiliki batas kontrak manajer dengan Barcelona hingga 2012. Ketika ditanya kenapa ia tidak memperpanjang kontraknya layaknya pemain atau pelatih lain dalam durasi 4 tahun atau lebih jawabannya adalah, kebebasan.

Dalam dunia olahraga atau sepak bola atau dalam apapun ia sadar bahwa segalanya sangat mudah berubah. Dia tidak ingin nantinya bila ia kemudian memperpanjang kontraknya kemudian dia sudah tidak lagi merasa nyaman “tertantang”, kinerjanya malah memburuk. Oleh sebab itu, ia hanya akan memperpanjang kontrak dalam satu atau dua tahun saja.

Bila tahun depan ia tidak lagi menemukan kenikmatan dalam mengatur suatu klub ia tidak terbebani untuk tetap bertahan. Ia bisa berpindah sesuai dengan keinginannya. Mungkin ini adalah salah satu ciri orang yang memang yakin dirinya memiliki kualitas. Dan tidak ada yang bisa menentukan masa depannya kecuali dirinya sendiri.

Menurut saya kita juga harus belajar dari Guardiola. Seringkali kita takut kehilangan pekerjaan, jabatan, posisi dan kenyamanan jangan-jangan karena memang kita kurang memiliki kompetensi dalam memegang amanah. Bila kita yakin diri kita adalah orang yang mampu, niscaya kita malah tidak ingin dikontrak dan menghabiskan sisa usia di dalam pekerjaan yang sangat tidak menyenangkan bagi kita.

Simple, sederhana tapi tidak mudah. Tapi bila kita ingin merasakan kebebasan yang sebagaimana dirasakan oleh Guardiola mari kita terus belajar dan belajar sehingga kita tidak perlu takut untuk kehilangan posisi atau jabatan karena kita tahu bahwa kita adalah orang yang dibutuhkan untuk menghadirkan kemenangan-kemenangan.

Wallahu A’lam bish showab

Friday, September 16, 2011

Gadis Cantik Vs Nenek Tua


Kisah ini kamu pasti sudah pernah mendengarnya. Tapi menurutku mungkin yang kamu dengar mungkin belum lengkap. Atau mungkin juga sudah lengkap aku tidak tahu. Anyway berikut adalah sebuah kisah tentang apa itu paradigma.
Di dalam sebuah kelas di program studi psikologi di sebuah universitas sang dosen membagi mahasiswa menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di kelas A dan kelompok kedua di kelas B. Di mahasiswa kelas A, sang Dosen memberikan sebuah gambar di depan para mahasiswa. Tapi sebelum gambar tersebut ditampilkan sang Dosen berkata,”Sebentar lagi kalian akan melihat sebuah gambar seorang gadis muda yang cantik menawan, ingat ya, seorang gadis yang cantik dan menawan!”.
Setelah itu ditampilkanlah gambar yang dimaksud. Para mahasiswa kemudian mengangguk, membenarkan apa yang telah dikatakan oleh sang Dosen.
Setelah para mahasiswa di kelas A selesai dengan gambar yang terpampang, di kelas B, sebuah aktivitas yang sama pun terjadi. Tapi yang diucapkan olen sang Dosen sedikit berbeda.
Tetap dengan gambar yang sama, tapi ucapan sang Dosen ternyata, “Sebentar lagi kalian akan melihat gambar seorang nenek-nenek tua yang mungkin lebih mirip nenek sihir dari pada manusia”. Kemudian ditampilkanlah gambar yang sama. Para mahasiswa ternyata juga mengangguk-angguk. Mereka membenarkan perkataan sang Dosen.
Kamu pasti sudah tahu gambar seperti apa yang ditampilkan oleh sang Dosen.
Ceritanya tidak berhenti di sini.... ia masih berlanjut.
Setelah keduanya mendapatkan gambar yang sama tapi dengan pandangan yang berbeda kedua kelompok mahasiswa ini dipertemukan.
Ketika mereka berkumpul, sang dosen bertanya sambil menampilkan gambar yang telah ditunjukkan. “Gambar apakah ini?” Para Mahasiswa A dengan semangat menjawab bahwa gambar itu adalah gambar seorang gadis muda. Para mahasiswa B tidak terima dengan jawaban itu. “Gadis cantik, yang benar saja, itu adalah gambar seorang nenek tukang sihir”.
Para mahasiswa A yang mendengar jawaban sinis seperti itu tidak terima. Mereka pun membalas, “Matamu buta ya? Nenek-nenek dari Hongkong!”
Ejek-mengejek masih berlanjut dan masing-masing tidak terima dengan pendapat dari kelompok mahasiswa yang lain. tidak berapa lama setelah keadaan sedikit mereda. Ada nada-nada pertanyaan dari sebagian mahasiswa kelompok A. “Iya ya, kok sepertinya gambar itu bisa mirip dengan nenek-nenek”. Sebaliknya sebagian kelompok B berkata, “Kalian juga mungkin ada benarnya, kalo diamati dengan seksama gambar itu juga gambar seorang gadis yang cantik.”
Seketika kemudian mereka tidak lagi bersitegang, mereka malah kemudian bertukar pendapat, apa bukti-bukti yang menunjukkan bahwa gambar tersebut adalah gambar nenek-nenek atau seorang gadis muda. Akhirnya kemudian kedua kelompok tersebut sepakat bahwa gambar tersebut memang adalah gambar yang bisa menjadi gambar nenek-nenek dan gambar gadis muda.
Sang dosen kemudian tampil. “Para muridku, itulah yang namanya paradigma, ia hanya pandangan, bukan gambar yang sebenarnya dari kenyataan. Pandangan itu muncul dalam pikiran. Pikiran sangat dipengaruhi oleh masa lalu, asumsi, pengalaman, pengetahuan dan lain sebagainya. Dan sebelum kalian melihat gambar itu, aku telah memberikan asumsi kepada kalian dua gambar yang berbeda, padahal sebenarnya satu gambar yang sama.”
“Permasalahan di dunia ini muncul seringkali sebagaimana kalian bertengkar di awal kalian dipertemukan. Masing-masing memiliki pandangan gambar tersendiri yang menurutnya paling benar. Tapi hanya dengan diskusi yang tenang dan tidak gampang terpancing emosi serta semangat untuk menemukan jawaban sajalah akhirnya sebuah kesepakatan atas sebuah masalah dan solusinya bisa ditemukan. Ingat hanya dengan diskusi dengan kepala dingin saja, perbedaan paradigma itu bisa dipersatukan dan usaha untuk memunculkan solusi akan jauh lebih mudah.
Oleh-oleh dari buku Seven Habits of Highly Effective People. Karya Steven Covey dengan terjemahan bebas rasa Anas.

Tuesday, September 13, 2011

Melihat Kepribadian dari Cara Makan Tempe Penyet


Aku dan istriku adalah dua orang fans makanan yang satu ini. Ya, tempe penyet. Sebuah hidangan yang jamak dijumpai di Surabaya terutama di daerah sekitar kampus. Setelah kami menikah, kami pun tetap suka dengan tempe penyet karena kesederhanaan dan kecepatan penyajiannya terutama. Inilah fast food asli Indonesia.

Setelah beberapa kali kami makan malam bersama, ternyata ada beberapa temuan yang kudapatkan ketika menyantap tempe penyet,

1. Aku dan istriku ternyata memiliki kebiasaan dan karakter yang berbeda pada masing-masing kami.

2. Meskipun berbeda, aku melihatnya sebagai sebuah keseimbangan, yang satu melengkapi yang lain.

3. Istriku lebih spontan dan kreatif, ia cenderung lebih terbuka dan menyukai kejutan-kejutan.

4. Sedangkan diriku lebih teratur, rapi, langkah yang tertata, dan senang dengan kesempurnaan.

Dua kepribadian yang berbeda ini menghasilkan cara makan yang berbeda. Istriku ketika menghadapi tempe penyet, ia langsung akan menyiramkan sambal dan mencampurnya dengan rata dengan nasi. Sedangkan diriku, akan memisahkan sayuran, nasi, lauk pauk dan sambal. Aku akan mengambil sedikit demi sedikit dan berusaha agar kesemuanya akan habis pada saat yang bersamaan.

Meskipun berbeda, kami tidak keberatan dengan perbedaan ini, bahkan seringkali perbedaan inilah yang menjadi bumbu dalam kehidupan rumah tangga kami. Yang satu lebih spontan dan kreatif, dan yang lain lebih teratur dan konsisten.

Mungkin lebih banyak lagi cara makan dan kepribadian lain yang bisa disaksikan selain kami berdua. Semoga tambahan ini bisa menjadi pengetahuan baru dalam ilmu Psikologi.

Komentar dan pertanyaan bisa dituliskan di bawah tulisan ini pada kolom komentar.

Wallahu A’lam bish Showab

Tuesday, August 23, 2011

Hati-hati! Optimisme Dekat dengan Kebodohan

Apakah judul di atas tidak terlalu berlebihan?
Jawabannya ternyata tidak. Hal ini diungkapkan oleh Heidi Grant Halvorson, seorang motivator psikologis. Berikut adalah pendapatnya yang memiliki judul asli “Be an Optimist Without Being a Fool”.
Banyak motivator dan penulis buku perkembangan diri (self-improvement) memberikan pesan berikut: “Yakinilah bahwa kesuksesan dengan mudah akan datang kepadamu! Maka kesuksesan itu akan datang”. Ada satu masalah dalam pernyataan tersebut, yakni pernyataan tersebut ternyata SALAH.
Memvisualisasikan kesuksesan yang tanpa usaha bukan hanya tidak membantu, bahkan membahayakan. Cara ini adalah cara yang paling mudah untuk memperdaya lawan bicara. Pernyataan tersebut sebenarnya adalah sebuah resep untuk kegagalan.
Tapi bagaimana mungkin? Bukankah optimisme adalah sesuatu yang baik? Tentu saja. Optimisme dan kepercayaan diri yang dimunculkannya sangat penting untuk menumbuhkan dan menjaga semangat yang dibutuhkan untuk meraih tujuan (kesuksesan). Albert Bandura, salah seorang pendiri psikologi ilmiah, menemukan berabad-abad lalu bahwa perkiraan yang bisa menentukansukses atau tidaknya seseorang adalah yakin atau tidaknya mereka bahwa mereka akan sukses. Ribuan penelitian dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya, pendapat Bandura belum terbantahkan.
Tapi ada sebuah peringatan penting: untuk meraih kesuksesan, perlu dipahami, terdapat perbedaan penting antara yakin berhasil dan yakin berhasil dengan mudah. Atau dalam bahasa kerennya, perbedaan antara optimis yang realistis (realistic optimist) dan optimis yang tidak realistis (unrealistic optimist).
Orang-orang optimis- realistis (ini yang dimaksudkan oleh Bandura) meyakini bahwa mereka akan berhasil, sukses, tetapi mereka juga yakin bahwa mereka harus berusaha agar kesuksesan mereka terwujud – melalui hal-hal seperti kerja keras, perencanaan yang matang, ketegaran, dan pemilihan strategi yang tepat. Mereka sadar, memberikan perhatian yang serius tentang bagaimana mengatasi permasalahan adalah sebuah kebutuhan. Persiapan model seperti ini malah akan meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk menyelesaikan permasalahan.
Orang-orang optimis- tidak realistis, di sisi lain, yakin bahwa kesuksesan akan datang kepada mereka – dan alam semesta akan memberikan hadiah atas pikiran postif mereka, atau entah bagaimana caranya dalam semalam mereka akan berubah menjadi orang yang sanggup mencegah datangnya permasalahan. (sepertinya mereka lupa bahwa Superman punya kelemahan dengan Kryptonit, permasalahan dengan identitas rahasia yang susah dijaga, dan permasalahan dalam hubungan).
Salah satu ilustrasi tentang berbahayanya optimis yang tidak realistis terekam dalam sebuah penelitian tentang penurunan berat badan pada wanita. Psikolog, Gabriele Oettingen, menanyakan bagaimana perasaan mereka ketika menjalani program penurunan berat badan. Dia menemukan bahwa wanita-wanita yang percaya akan berhasil, ternyata berhasil menurunkan berat badannya 26 pound (12 kg) lebih banyak dari orang yang ragu-ragu.
Tetapi Oettingen juga bertanya bagaimana mereka membayangkan diri mereka ketika menjalani program diet dan berhasil – apakah mereka membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan kesulitan untuk menahan godaan, atau mereka dengan mudah menolak cemilan dan makanan gratisan. Hasilnya mengejutkan: wanita yang membayangkan akan adanya permasalahan dalam program dietnya turun 24 pound (11 kg) lebih banyak dari mereka yang meyakni bahwa mereka akan berhasil dalam program diet dengan mudah.
Dia menemukan sebuah pola yang sama dalam penelitian tentang sarjana yang mencari pekerjaan setelah lulus kuliah, mereka yang mencari pasangan yang sejati, dan mereka yang dalam proses penyembuhan pasca operasi. Orang yang optimis- realistis mengirim lebih banyak lamaran, lebih berani untuk menemukan pasangan, dan lebih bekerja keras dalam latihan rehabilitasinya –akhirnya, menjadikan masing-masing memiliki tingkat kesuksesan yang lebih tinggi.
Meyakini bahwa jalan menuju kesuksesan akan berbatu menuntun ke arah kesuksesan yang lebih besar karena keyakinan tersebut akan memaksa anda untuk mengambil tindakan. Orang yang percaya bahwa mereka akan sukses dan dengan seimbang mempercayai bahwa kesuksesan tidak datang dengan mudah, berusaha lebih keras, merencanakan bagaimana mereka akan menangani masalah sebelum masalah itu muncul, dan tegar lebih lama dalam menghadapi kesulitan.
Orang-orang yang optimis-tidak realistis dengan gembira akan mengatakan bahwa anda ini “terlalu negatif” saat anda menyatakan kekhawatiran, membuat rencana cadangan dan terlalu lama untuk memikirkan masalah yang ada merintangi jalan menuju kesuksesan. Padahal sebenarnya cara berfikir seperti ini adalah sebuah langkah yang penting dalam usaha menuju kesuksesan dan hal ini bukanlah antitesis dari sebuah optimisme kepercayaan diri. Fokus hanya pada yang kita inginkan dan tidak mengindahkan lainnya adalah sebuah cara berpikir yang naif dan ceroboh yang telah menyebabkan banyak pemimpin berada dalam permasalahan yang besar.
Tumbuhkanlah optimisme- realistis dengan mengkombinasikan perilaku positif dengan sebuah penilaian yang jujur akan tantangan yang telah menunggu. Jangan memvisualisasikan kesuksesan saja – visualisasikan juga langkah-langkah yang akan dilaksanakan untuk membuah kesuksesan terjadi.
Diterjemahkan dari Be an Optimist Without Being a Fool, karya Heidi Grant Halvorson.
Heidi Grant Halvorson, Ph.D. adalah seorang motivator psikolog dan pengarang dari buku Succeed: How We Can Reach Our Goals (Hudson Street Press, 2011). Dia juga adalah seorang blogger yang ahli tentang motivasi dan kepemempinan bagi Fast Company and Psychology Today. Blog pribadinya, The Science of Succes bisa di akses di www.heidigranthalvorson.com
http://blogs.hbr.org/cs/2011/05/be_an_optimist_without_being_a.html

Sunday, July 24, 2011

Anomali Abu Bakr

Keanehan bisa kita lihat pada kejadian sejarah kepemimpinan Abu Bakr. Keanehan inilah yang saya sebut dengan anomali. Karena di awal kepemimpinannya ada sesuatu yang tidak sesuai dengan cerita-cerita sebelumnya tentang dirinya.

Hal ini diawali dengan ketegaran dirinya ketika menghadapi kematian Rasulullah saw. Ketika itu ia diberitahu bahwa Rasulullah telah meninggal. Dari rumahnya yang berada di pinggiran kota Madinah, ketika ia datang ia telah melihat Umar berpidato: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah meninggal maka akan kupenggal lehernya, ia tidak meninggal ia sebagaimana Imran hanya bersemedi selama 40 hari kemudian ia akan kembali lagi”.

Abu Bakr menyaksikan jasad Rasulullah, “Engkau wangi ketika masih hidup, dan tetap wangi ketika ajal telah menjemputmu”. Ia kemudian keluar, di tengah keramaian Abu Bakr berpidato, “Barang siapa yang menyembah Muhammad, Muhammad telah mati. Barang siapa yang menyembah Allah, Allah tetap hidup”. Setelah itu Umar bin Khattab terjatuh, pingsan tak sadarkan diri.

Aneh, Abu Bakr yang dianggap Rasulullah sebagai khalil (teman setia), ternyata tidak mengalami keguncangan sebagaimana Umar. Ia kelihatan tegar dan kuat menghadapi meninggalnya Rasulullah. Padahal dia dikenal sebagai seseorang yang lemah lembut, gampang terenyuh melihat penderitaan orang lain, mudah iba dan menangis. Ia juga orang yang memiliki kedekatan yang lebih dari sahabat lainnya, tapi mengapa ia bisa tegar menghadapi semua itu?

Anomali yang kedua, ketika Abu Bakr menjadi khalifah, ia memerintahkan Abu Ubaidah bin Al Jarrah untuk berangkat untuk menghadapi para para tentara Romawi yang berhasil menguasai daerah perbatasan. Banyak yang menganjurkan agar Abu Bakr mengurungkan niatnya. Karena ketika itu kondisi di Madinah dan sekitarnya belum kondusif pasca meninggalnya Rasulullah. Umar pun mengingatkan, sebaiknya pasukan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah disiapkan untuk mempertahankan Madinah. Abu Bakr tidak bergeming. “Bagaimana aku akan menyalahi perintah yang sudah diberikan oleh Muhammad Rasulullah saw yang meminta agar pasukan ini berangkat?”

Anomali yang ketiga adalah ketika Abu Bakr menentukan akan memerangi orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat. Untuk memerangi orang yang murtad adalah sebuah keputusan yang wajar, tapi memerangi orang yang tidak membayar zakat, banyak yang memepertanyakan. “Meraka khan sudah dijamin darah dan kehormatan oleh Rasulullah”, kata beberapa sahabat termasuk Umar bin Khattab.

“Barang siapa yang memisahkan antara shalat dan zakat, aku akan memeranginya meski aku adalah orang yang terakhir yang melaksanakannnya”. Abu Bakr mengulangi ucapan ini berkali-kali. Yang akhirnya beberapa sahabat melakukannya.

Aneh, orang yang biasanya low profile, rendah hati, mudah tersentuh sekarang ini menjadi orang yang tegas bahkan terkesan keras. Anomali apakah ini?

Ini adalah sebuah hasil dari sebuah keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak lagi peduli dengan segala resiko yang akan ia terima, yang ia pedulikan adalah bagaimana ia nanti akan menghadap Rabb-nya dan ingin bertemu sahabatnya Rasulullah saw di akhirat. Sebuah keimanan yang membuahkan sebuah keteguhan yang tak tergoyahkan. Sebuah keyakinan yang membebaskan diri dari pandangan manusia.

Akankah ada anomali seperti Abu Bakr?

Wallahu A’lam Bish Showab

Thursday, July 21, 2011

Eh, Eh Ini Ada Orang, Jangan Diinjak-injak.

Ini adalah kata-kata saya yang menggambarkan kejadian ketika itu.

Setelah Rasulullah wafat beberapa orang Anshar berkumpul di rumah Sa’ad bin Ubadah. Sang empunya rumah yang ketika itu sedang sakit mendengar kerumunan orang di depan rumahnya, ia meminta untuk ditandu keluar.

Ternyata beberapa orang dari Anshar khawatir bagaimana nasib mereka setelah Rasulullah wafat. Siapa yang berhak memimpin kaum muslimin? Apakah orang Muhajirin, ataukah orang Anshar. Para pemuka Anshar yang datang berdalih.

“Kaum mereka (Quraisy) tidak menerima dakwah Rasulullah padahal ia dari mereka. Kini setelah mereka kuat, apakah mereka akan kita biarkan mengambil kekuasaan kita”. Banyak orang menyepakati ucapan ini. “Ya betul, itu betul, tidak boleh kita menyerahkan kekuasaan ini kecuali kepada orang Anshar”.

“Tapi Muhajirin adalah kaum yang dimulyakan, bagaimana bila satu amir dari kita dan satu amir dari mereka”, pendapat kedua muncul. “Ya, betul itu juga betul”. Sa’ad bin Ubadah tidak senang dengan pendapat yang satu ini karena pengusung pendapat pertama akan mengangkatnya jadi pimpinan.

Di tempat lain, Abu Bakr, Umar bin Khattab, dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah diberikan laporan terkait diskusi yang ada di rumah Sa’ad bin Ubadah. Pada awalnya Umar dan Abu Ubaidah yang bergegas, mereka meminta agar Abu Bakr ikut namun ia masih ingin merawat jenazah Rasulullah. “Abu Bakr ini penting!”. Abu Bakr pun ikut dengan Umar dan Abu Ubaidah.

Di rumah Sa’ad situasi memanas dengan kedatangan tiga orang ini. Abu Bakr dan Umar, dua orang wazir Rasulullah, Abu Ubaidah panglima dengan pasukan yang sudah siap dengan baju perang dan perlengkapannya. Abu Bakr berkata kepada Umar, “Biarkanlah aku yang berbicara, bila setelah itu terserah apakah kau juga mau berbicara”.

Setelah Abu Bakar bicara, masih banyak Anshar yang tetap tidak berubah satu amir dari kami dan satu amir dari kamu. Umar naik pitam “Bah, tidak mungkin ada dua biduk dalam satu perahu!”. Akhirnya semua ramai, kacau. Untung ada Abu Ubaidah bin Al Jarrah.

Ia berkata, “Wahai saudaraku Anshar, bukankah kalian dulu pertama kali yang membantu? Apakah sekarang ini kalian ingin menjadi yang pertama memberontak?” Sahabat Anshar turun amarahnya. Seorang sahabat Anshar kemudian berbalik mendukung Muhajirin untuk memegang kekhalifahan. Serta merta Abu Bakr mengangkat tangan Umar dan Abu Ubaidah, “Aku siap membaiat dari dua orang ini siapa yang kalian sukai”.

Orang Anshar kelihatan bingung, Umar, wah bisa berabe nih (mungkin ini pikiran orang Anshar ketika itu). Abu Ubaidah masih muda. Umar kemudian berkata, “Aku membaiatmu Abu Bakr sebagai khalifah”. Abu Ubaidah juga berkata hal yang sama. Para sahabat Anshar kemudian berbondong-bondong membaiat Abu Bakr.

Di keriuhan baiat Abu Bakr, terdengar suara. “Eh, hati-hati, ada orang sakit jangan diinjak-injak”. Si empunya rumah sedang sakit, tidak berhasil dibaiat, tidak bisa bangun kini malah jadi sasaran injak-injakan massa yang berebut membaiat Abu Bakr.

KALO BAHASA SAYA, “HE REK, AKU JEK ONO IKI, AKU LARA, OJO DIPIDHAK’I! ATUH, ATUH, ATUH”. Tertawa sendiri bila mengingat cerita ini. Kok yo ono wae cerito sing model koyo ngene!.

Wkwkwkwkwkwkwk.

Wallahu A’lam bish Showab.

Tuesday, July 19, 2011

Pernahkah Engkau Menangisi Rasulullah?

Semalam, 18 Juli 2011, selepas Isya kusempatkan membaca sirah sahabat. Kali ini Abu Bakr Ash-Shidiq. Karya Muhammad Husein Haikal ini memang terasa berbeda, bahasanya yang bak bahasa novel menyihirku seketika.

Aku berhenti ketika membaca kisah bagaimana pembelaan Abu Bakr kepada Rasulullah saw. Namun bukan Abu Bakr yang membuatku menangis, tapi perjalanan hidup Rasulullah yang membuatku menitikkan air mata.

Dikisahkan bahwa pernah suatu hari Rasulullah ketika datang di area Mekkah ia telah diteror dengan ancaman dari kafir Quraisy. Tidak kuasa aku mengisahkannya lagi. Sungguh teramat pilu. Beliau yang mencintai umatnya diperlakukan seperti orang yang tidak memiliki pembelaan sama sekali.

Baju beliau ditarik-tarik oleh banyak orang yang mengerubutinya. "Hai Muhammad apakah benar engkau berkata begini-begini?" Dan Rasulullah pun membalas, "Ya memang aku berkata begini dan begini".

Selanjutnya aku tidak bisa membayangkan cacian-cacian apa yang diberikan oleh penduduk Mekkah kepada Rasul kita yang satu ini. Sampai-sampai Abu Bakr datang dan menghalau orang yang mengerubutinya, menarik bajunya. Sambil menangisi Rasulullah ia berkata, "Mengapa kalian melakukan hal seperti ini kepada orang yang menyatakan keesaan Tuhannya?"

Subhaanallah, Aku tidak tahu lagi seandainya bertemu denganmu Ya Rasulullah, kalimat apa yang akan aku ucapkan. Engkau adalah orang yang paling mulia di dunia ini tapi engkau rela dicaci maki oleh orang-orang yang tidak tahu, dan engkau tidak membalas. Engkau dihina dan diancam namun engkau malam membalas dengan senyum dan tutur kata yang lembut.

Bagaimana aku tidak menangis ketika aku membaca kisah tersebut, dan bagaimana aku tidak menangis ketika aku menceritakannya kembali? Engkau duhai Rasulullah adalah orang yang bersih dari dosa, namun engkau tidak membalas perlakuan keji dari umatmu sendiri bahkan Kau mengkhawatirkan mereka ketika ajal menjemput...

Semoga sholawat dan salam senantiasa atasmu Rasulku....

Wallahu A'lam Bishshowab.

Monday, June 20, 2011

مَنْ جَدَّ وَجَدَ

Barangsiapa bersungguh-sungguh ia akan mendapatkannya
Mahfudzot ini adalah mahfudzot nomor kedua. Yang ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Memang ini sudah menjadi judul sebuah buku yang best seller. Tapi tahukah anda arti sebenarnya dari kata-kata di atas?
“Jadda” secara harfiah memang bersungguh-sungguh. Namun bersungguh-sungguh yang bagaimanakah ia? “wajada” yang artinya mendapatkan juga mendapatkan apa?
Dari kamus Bahasa Arab, Al-Munjid, kucari kata-kata “jadda”. Ternyata artinya memberikan sebuah penekanan yang lebih spesifik yakni tingginya usaha seseorang baik dari segi kuantitas dan kualitas. Itulah “jiddiyah” atau kesungguhan. Sungguh-sungguh yang “jadda” harus memenuhi dua kualifikasi ini.
Ia harus menunjukkan frekuensi yang rutin yang lebih dari usaha pada umumnya sehingga ia layak dinyatakan sebagai sesuatu yang “jadda”. Bila ia masih dijumpai sebagai sesuatu frekuensi yang umum maka ia belum layak dikategorikan sebagai “jadda”. Bila seorang penulis ingin dikatakan sebagai seseorang yang benar-benar bersungguh-sungguh maka ia harus menunjukkan dengan usaha yang frekuensinya melebih penulis pada umumnya. Bila seorang atlet ingin dikategorikan sebagai sesuatu yang benar-benar sungguh-sungguh, maka ia harus melatih dirinya melebihi atlet-atlet pada umumnya.
Namun tidak cukup dengan frekuensi. Kualitas juga berpengaruh penting. Orang yang bersungguh-sungguh tidak hanya membutuhkan rutinitas yang lebih, tapi rutinitas yang memang berkualitas. Rutinitas yang memang membuat dia layak mendapatkan hasil yang cemerlang. Sebuah usaha yang diikuti dengan pengetahuan, keahlian yang mumpuni akan memberikan hasil yang maksimal. Kalau dalam bahasa kerennya lebih dikenal dengan kerja cerdas.
Bila seseorang telah berusaha dengan kedua kualifikasi “jadda” maka ia akan “wajada” menemukan sesuatu yang sebelumnya hilang. Dalam kata lain, ia akan mendapatkan sesuatu yang sebelumnya pernah ditemukan namun hilang. Dengan “Jadda” ia akan menemukan hal tesebut sebagai hasil yang cemerlang meskipun tujuan yang ia impikan belum berhasil ia temukan.
Betapa banyak penemuan yang besar ternyata dari hasil kerja keras yang sebelumnya ia tidak berharap menemukan hal tersebut. Ia sebenarnya mengharapkan hal yang lain, namun karena kerja keras dan kerja cerdasnya ia menemukan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia impikan sebelumnya.
Sudahkah kita ber-“Man Jadda Wajada”. Sudahkah kita berusaha lebih sering dan lebih berkualitas dari kebanyakan manusia? Bila sudah niscaya kita akan menemukan sesuatu yang cemerlang yang hilang dalam kehidupan kebanyakan manusia.
Wallahu A’lam Bish Showab

Friday, June 17, 2011

Brand Gak Cuma Logo Thok

(judul asli: A Logo Is Not a Brand)

Banyak orang datang ke Dan Pallotta untuk meminta dibuatkan sebuah logo baru bagi perusahaan mereka. Mereka sering menganggap bahwa dengan logo baru berarti mereka memiliki brand baru. Dari Wikipedia dijelaskan bahwa yang namanya brand adalah identitas khusus dari produk, layanan atau bisnis.

Banyak orang mungkin mengartikan merek. Tapi untuk kali ini aku lebih menggunakan kata 'brand' saja.

Kebanyakan orang tidak mengerti bahwa yang namanya brand itu bukan logo thok. Tapi lebih dari sekedar itu. Berikut adalah penjelasan dari Pak Dan Pallotta.

Strategimu adalah Brand

Bila kita consumer brand, brand adalah produk kita dan cerita-cerita yang datang dengan produk itu. Maka misal kita memiliki produk yang rusak setelah dua hari dipakai, maka itulah brand kita. Keseriusan adalah brand. Dulu 1969 Nasa tidak punya logo yang bagus. Tapi ia punya brand. Kini ia punya logo yang lebih mengkilat, tapi brand-nya tidak memiliki makna sama sekali.

Cara Mengajak untuk Bertindak adalah Brand

Bila kita adalah sebuah organisasi sosial, banyaknya "Likes" di Facebook bukanlah sebuah sesuatu yang layak sebagai sebuah strategi. Hal-hal yang kita minta kepada konstituenlah yang menunjukkan Brand kita.

Customer service adalah Brand

Bila ada calon donatur yang menghubungi organisasi kita dan bersemangat, tapi kemudian diminta menunggu sampai kapan tidak jelas menunjukkan brand kita. Bila dalam sebuah acara dengan para donatur, mereka tidak dapat mengerti apa yang kita sampaikan dan kita tidak perduli menunjukkan itulah brand kita.

Cara kita berbicara adalah Brand

Bila ternyata website kita berisi tentang banyak hal yang tidak update itulah brand kita. Kalau pesan kita hanya berisi jargon-jargon, singkatan yang tidak penting berarti begitulah sebenarnya brand kita.

Semua sarana komunikasi kita adalah Brand

Bila ada lembaga yang neon box-nya masih bantuan tali rafia itulah pula brand-nya. Bila website kita ketika diklik malah error itulah brand kita.

Orang yang di lembaga kita adalah Brand

Orang-orang yang bekerja di lembaga adalah brand dan mewakili kita kepada masyarakat. Bila mereka bisa bekerja dengan baik dan terarah, teratur, itulah brand kita. Begitu juga sebaliknya. Bila ternyata kerja mereka hanya melakukan sesuatu yang tidak jelas. Itulah juga brand kita.

Fasilitas kita adalah Brand

Apakah fasilitas kita tercukupi untuk melakukan tugas-tugas yang dibutuhkan? Itu menggambarkan brand kita.

Logo dan gambaran juga adalah Brand

Brand yang besar layak mendapatkan logo yang bagus dan eye catching.
Intinya, brand adalah memberikan perhatian pada pekerjaan kita pada tiap levelnya, dengan detil mulai dari visi-misi, tenaga kerja, pelanggan dan interaksi yang akan kita jalankan, betapapun kecilnya hal tersebut.

Kita sadar atau tidak, punya logo yang keren atau tidak. kita punya brand. Pertanyaannya adalah apakah itu brand yang kita inginkan.

http://blogs.hbr.org/pallotta/2011/06/a-logo-is-not-a-brand.html
Dan Pallotta is an expert in nonprofit sector innovation and a pioneering social entrepreneur. He is the founder of Pallotta TeamWorks, which invented the multiday AIDSRides and Breast Cancer 3-Days. He is the president of Advertising for Humanity and the author of Uncharitable: How Restraints on Nonprofits Undermine Their Potential.

Thursday, June 16, 2011

Masih tentang SDN Gadel

Kasus SDN Gadel semakin lama semakin tambah seru. Banyak komentator memberikan komentarnya. Tapi dari sekian banyak komentar yang ada aku suka komentar dari Mas Anis Baswedan. Semua ini sebenarnya sebuah hasil dari proses yang berlangsung selama bertahun-tahun. Bila kita tidak sadar dan masih meneruskan proses ini maka hasil yang lebih buruk akan terjadi. Kira-kira seperti itulah.

Pikiran lain yang terlintas adalah teringat kisahnya Umar. Umar ngotot ke Rasulullah kenapa harus berhijrah dengan diam-diam. "Bukankah kita ini yang benar?? Bukankah ada Allah bersama kita??" Ungkap Umar. "Bila memang kita ini yang benar kenapa harus takut?" Akhirnya dibuktikan oleh Umar bin Khattab seorang diri sahabat yang lain berhijrah dengan bersembunyi.

Ada juga kejadian ketika perjanjian Hudaibiyah. Saat Rasulullah diminta untuk tidak datang tahun ini untuk haji. Rasulullah menyetujui permintaan pihak Makkah. Lagi-lagi Umar tidak setuju. "Apakah kita ini lemah? Apakah kita ini tidak berada dalam kebenaran yang dijamin oleh Allah?". Rasulullah tidak bergeming, meski ditantang oleh kefaqihan Umar. Para sahabat pun terdiam ketika melihat Umar 'menantang' Rasulullah. Rasulullah pun akhirnya tetap menjalankan keputusannya.

Bayanganku, mungkin Bu Siami mengalami kondisi yang sama dialami oleh Umar. Menurut pengetahuannya ia berada di atas kebenaran. Kenapa mesti takut? Kenapa Ia mesti gentar?

Kejadian ini adalah sebuah kejadian yang sengaja diperlihatkan oleh Allah. Sebagian besar kita mungkin sudah tahu bahwa kejadian yang sebenarnya dilaporkan oleh Bu Siami sudah menjadi rahasia umum. Pihak sekolah tidak ingin siswanya tidak lulus adalah sebuah hal yang lumrah. Pihak sekolah meminta agar ada contekan yang sistematis juga adalah hal yang lumrah terjadi. Bagi yang menolak ada kejadian ini mungkin patut dipertanyakan berapa lama ia tinggal di Indonesia.

Untuk mengganti hal yang lumrah terjadi walaupun jelek butuh proses yang panjang. Karena budaya tersebut juga dibangun pada waktu yang lama. Kecuali memang ada orang yang seperti Umar bin Khattab yang tak tergoyahkan. Harus ada tokoh yang memiliki kekuatan digdaya baik di sisi intelektual, kekuasaan, dan finansial tapi yang terutama kekuatan moral.

Masih ada orang seperti 'Umar bin Khattab' di Indonesia ini? Semoga....

Wallahu A'lam

Wednesday, June 15, 2011

مَنْ سَارَ عَلىَ الدَّرْبِ وَصَلَ

Barangsiapa berjalan di atas jalannya sampailah ia

Itu adalah mahfudzot nomor satu. Cukup ringkas dan jelas. Namun bila kita cari asal katanya sungguh akan banyak bermakna.
Berjalan yang dalam bahasa Arab adalah “saaro” sebenarnya bukan berjalan biasa. Begitu juga dengan “Ad-darbi” juga bukan jalan biasa. Keduanya sebenarnya berdasarkan arti katanya memiliki makna yang luar biasa.
“Saaro” sebenarnya dalam bahasa Arab diartikan berjalan di waktu malam. Sedangkan “Ad-darbi” artinya jalan yang terbentuk dengan alami karena ada beberapa orang yang telah melewati atau bisa disebut jalan setapak. Nah inilah luar biasanya.
Bagaimana mungkin orang yang berjalan di waktu malam dan di atas jalan setapak akan sampai.
Ketika hal ini kubandingkan dengan kusuksesan orang-orang yang ada di dunia ini, ternyata ada hal yang sama. Mereka juga berjalan di waktu malam di atas jalan setapak. Maka sampailah mereka pada kesuksesan.
Dengan kata lain. Orang yang sukses adalah orang yang berjalan di waktu malam di atas jalan setapak. Ia mungkin juga berjalan di waktu siang ketika banyak orang lain juga berjalan dan berlari. Tapi ketika malam datang ternyata ia tetap berjalan. Ia tetap berjalan ketika banyak orang yang lain sudah kembali beristirahat, lelah, tidur. Dengan resiko bahwa mungkin ia akan terjatuh, terperosok, dan terluka namun ia tetap berjalan di waktu malam.
Dan jelas ketika berjalan di tengah malam ia harus melakukannya dengan perlahan-lahan. Orang yang sukses sadar akan hal ini. Mereka akan menempuh kesuksesan dengan cara yang perlahan-lahan sambil menguatkan diri mereka. Sambil meningkatkan kapasitas mereka. Tidak berlari dan terburu-buru. Mereka sadar untuk meraih kesuksesan mereka ada hal-hal yang harus mereka persiapkan dan hal tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan terburu-buru.
Ketika berjalan di atas jalan setapak sudah terbayang bahwa jalan ini bukanlah jalan yang umum dilalui orang. Orang pada umumnya tidak berkeinginan untuk melewati jalan ini. Mereka (orang pada umumnya) lebih senang dengan jalan yang bersih, tidak berbatu, bahkan lurus-lurus saja. Sementara jalan setapak, bisa jadi ada duri, batu, lobang, tanjakan, semak dan lain sebagainya. Dan memang jalan kesuksesan begitulah adanya tidak banyak yang melewati. Tidak banyak yang mengetahuianya. Tidak banyak yang ingin melewati. Namun akibat jalan setapak itulah para peraih kesuksesan mendapatkan pelajaran yang tidak didapatkan oleh pejalan raya dan pejalan tol.
Mereka mendapatkan pelajaran tentang kehidupan, pelajaran tentang arti kesuksesan, pelajaran tentang rasa sakit, dan sulitnya bangkit setelah jatuh.
Maka apakah anda akan berjalan di waktu malam di atas jalan setapak sebagaimana para peraih kesuksesan?
Wallahu A’lam

Tuesday, June 14, 2011

Kalimat yang Paling Ditakuti Pimpinan

Oleh Linda Hill & Kent Lineback
Dari HBR blog
Bila anda sekarang adalah seorang manajer atau pimpinan, kapan terakhir kali anda mengucapkan kalimat-kalimat ini:
“Saya tidak tahu”
“Saya yang salah”
“Maaf ya”
“Bisakah kamu menolongku?”
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Bisa kau jelaskan kepadaku tentang hal ini. Aku kok tidak mengerti?”
Siapapun ia, baik bos atau bukan tidak senang mengakui bahwa ia tidak tahu, ia tidak bisa. Tapi bila ia menghindar dari mengakui hal-hal tersebut, ia akan mengalami penurunan efektifitas sebagai seorang pimpinan.
Contoh, Ita seorang guru yang telah meluluskan 100% siswa kelas enam selama empat tahun berturut-turut diangkat menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam penentuan kurikulum sekolah. Ia menganggap bahwa pelajaran yang diberikan di kelas satu dan dua selama ini terlalu banyak bermain dari pada belajar.
Ia tidak tahu bahwa pada usai kelas satu dan dua memang bermain yang diutamakan untuk meningkatkan perkembangan sang anak. Ketika ia menyusun kurikulum bagi siswa kelas satu dan dua, para guru mempertanyakan keputusannya. Ia bersikukuh posisinya yang sekarang adalah karena kemampuannya dalam meluluskan siswa kelas enam memegang peranan yang penting. Ia melihat banyak guru yang tidak senang dengan keputusannya.
Suatu ketika ia bertanya kepada salah seorang guru kelas satu tentang proses belajar mengajar di kelas satu. Ia kemudain baru mengerti bahwa bermain adalah sesuatu yang penting dalam belajar bagi usia anak kelas satu SD.
Kemudian dalam kesempatan berbeda ia kemudian lebih sering mendengar usulan dari para guru. Dan para guru kemudian tidak mempertanyakan keputusan yang ia buat. Sehingga ketegangan dalam rapat-rapat kini jarang terjadi lagi.
Jadi orang yang tidak mengakui kelemahannya akan menjadi orang yang tidak mau belajar. Hal ini kebalikan dari kisah di atas akan berpotensi membuat ketegangan antar personal dalam organisasi semakin meningkat.
Alasan kedua kenapa anda sebaiknya menghindar untuk mengakui bahwa anda tidak bisa adalah masalah kepercayaan. Dasar dalam memimpin sebuah organisasi adalah kemampuan pimpinan dalam mempengaruhi yang dibawahnya agar mempercayai mereka sebagai pimpinan, kepercayaan bahwa anda sebagai pimpinan telah melakukan hal yang benar.
Bila seorang pimpinan tidak tahu tapi berpura-pura tahu di hadapan orang yang memiliki keahlian lebih dari pada kita akan membuat kepercayaan mereka cepat pudar. Orang-orang sebenarnya tahu bahwa pimpinannya tidak tahu akan semua hal. Mereka tahu ketika pimpinannya melakukan kesalahan atau membutuhkan bantuan.
Intinya ada dua sisi dalam permasalahan ini, di satu sisi, bawahan akan menghargai dan menghormati kesadaran akan kelemahan dan keinginan pimpinan untuk belajar. Tanpa hal tersebut akan banyak bawahan yang tidak percaya. Di sisi lain, terlalu banyak ekspresi kelemahan, terlalu sering melakukan kesalahan juga akan meningkatkan ketidakpercayaan bawahan kepada pimpinannya.

"Nang Endhi Wae Sampean Cak!"

Mendengar diskusi soal SD Gadel di Metro TV ternyata membuatku muak. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku merasa muak mendengarkan komentar-komentar mereka tentang negara yang sekarang sudah kehilangan nilai kejujuran. Bahkan sempat ada letupan perdebatan di sana. Maka kata yang terlontar dari pikiranku adalah judul di atas.

"Nang Endhi Wae Sampean Cak!"

Narasumber yang dihadirkan kulihat seakan-akan kaget dengan fenomena SD Gadel. Padahal kalau mau jujur, bisa kita lihat perkembangan di dunia pendidikan terkait fenomena ini. Apakah ada sekolah yang berkomentar? Apakah ada guru, dosen dan pelajar yang mendukung aksi Ibu pelapor?

Tidak ada. Atau tidak terekam mungkin.

Pikiranku mengatakan 'menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri'. Bila praktisi pendidikan memberikan komentar terkait hal tersebut, akan kena pada institusi pribadi mereka sendiri. Bukan karena sebab lain tapi karena memang begitulah jamaknya sekarang ini.

Sekolah mana sih yang tidak menjamaahkan mencontek? Guru mana sih yang tidak menugaskan siswanya menjadi sumber contekan. Kalau pun ada, berapa prosentasenya? Ke mana saja narasumber-narasumber beserta para komentator itu. Jangan-jangan mereka sekolah di luar negeri. Jangan-jangan anak-anak mereka sekolah di sekolah yang "berbonafide".

Kami yang di masyarakat saja tidak terlalu kaget. Karena itu sudah lumrah. Di sekolah memang pada umumnya contekan. Dan guru pada umumnya membiarkan hal itu terjadi. Dan bila sudah mendekati ujian kelulusan pada umumnya sekolah ingin meluluskan siswanya.

Itu sudah umum.

Jadi tidak usah terkaget-kaget. Ya beginilah Indonesia kita. Kita ingin dipimpin oleh pemimpin yang jujur tapi sekolah tempat menggodok pemimpin mengajarkan kecurangan. Kalau ketahuan curang ketika pilkada 'rame-rame' dihina dan dicaci.

Kalo kasus Gadel sih sebenarnya tidak perlu panjang asal SD Gadel bersedia menerima dan menjelaskan kepada orang tua murid yang lain bahwa yang dilakukan oleh pelapor adalah sesuatu yang benar dan harus dihargai. Bila hal ini segera dilakukan kasus ini tidak akan menjadi berbuntut panjang.

Ya, memang harus mengakui bahwa dirinya salah. Selama pihak sekolah dan dinas pendidikan tidak mau merangkul pelapor, bola panas ini akan semakin panas. Dan yang merasakan kerugiannya adalah anak-anak kita sendiri.

Wallahu A'lam