Friday, September 16, 2011

Gadis Cantik Vs Nenek Tua


Kisah ini kamu pasti sudah pernah mendengarnya. Tapi menurutku mungkin yang kamu dengar mungkin belum lengkap. Atau mungkin juga sudah lengkap aku tidak tahu. Anyway berikut adalah sebuah kisah tentang apa itu paradigma.
Di dalam sebuah kelas di program studi psikologi di sebuah universitas sang dosen membagi mahasiswa menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di kelas A dan kelompok kedua di kelas B. Di mahasiswa kelas A, sang Dosen memberikan sebuah gambar di depan para mahasiswa. Tapi sebelum gambar tersebut ditampilkan sang Dosen berkata,”Sebentar lagi kalian akan melihat sebuah gambar seorang gadis muda yang cantik menawan, ingat ya, seorang gadis yang cantik dan menawan!”.
Setelah itu ditampilkanlah gambar yang dimaksud. Para mahasiswa kemudian mengangguk, membenarkan apa yang telah dikatakan oleh sang Dosen.
Setelah para mahasiswa di kelas A selesai dengan gambar yang terpampang, di kelas B, sebuah aktivitas yang sama pun terjadi. Tapi yang diucapkan olen sang Dosen sedikit berbeda.
Tetap dengan gambar yang sama, tapi ucapan sang Dosen ternyata, “Sebentar lagi kalian akan melihat gambar seorang nenek-nenek tua yang mungkin lebih mirip nenek sihir dari pada manusia”. Kemudian ditampilkanlah gambar yang sama. Para mahasiswa ternyata juga mengangguk-angguk. Mereka membenarkan perkataan sang Dosen.
Kamu pasti sudah tahu gambar seperti apa yang ditampilkan oleh sang Dosen.
Ceritanya tidak berhenti di sini.... ia masih berlanjut.
Setelah keduanya mendapatkan gambar yang sama tapi dengan pandangan yang berbeda kedua kelompok mahasiswa ini dipertemukan.
Ketika mereka berkumpul, sang dosen bertanya sambil menampilkan gambar yang telah ditunjukkan. “Gambar apakah ini?” Para Mahasiswa A dengan semangat menjawab bahwa gambar itu adalah gambar seorang gadis muda. Para mahasiswa B tidak terima dengan jawaban itu. “Gadis cantik, yang benar saja, itu adalah gambar seorang nenek tukang sihir”.
Para mahasiswa A yang mendengar jawaban sinis seperti itu tidak terima. Mereka pun membalas, “Matamu buta ya? Nenek-nenek dari Hongkong!”
Ejek-mengejek masih berlanjut dan masing-masing tidak terima dengan pendapat dari kelompok mahasiswa yang lain. tidak berapa lama setelah keadaan sedikit mereda. Ada nada-nada pertanyaan dari sebagian mahasiswa kelompok A. “Iya ya, kok sepertinya gambar itu bisa mirip dengan nenek-nenek”. Sebaliknya sebagian kelompok B berkata, “Kalian juga mungkin ada benarnya, kalo diamati dengan seksama gambar itu juga gambar seorang gadis yang cantik.”
Seketika kemudian mereka tidak lagi bersitegang, mereka malah kemudian bertukar pendapat, apa bukti-bukti yang menunjukkan bahwa gambar tersebut adalah gambar nenek-nenek atau seorang gadis muda. Akhirnya kemudian kedua kelompok tersebut sepakat bahwa gambar tersebut memang adalah gambar yang bisa menjadi gambar nenek-nenek dan gambar gadis muda.
Sang dosen kemudian tampil. “Para muridku, itulah yang namanya paradigma, ia hanya pandangan, bukan gambar yang sebenarnya dari kenyataan. Pandangan itu muncul dalam pikiran. Pikiran sangat dipengaruhi oleh masa lalu, asumsi, pengalaman, pengetahuan dan lain sebagainya. Dan sebelum kalian melihat gambar itu, aku telah memberikan asumsi kepada kalian dua gambar yang berbeda, padahal sebenarnya satu gambar yang sama.”
“Permasalahan di dunia ini muncul seringkali sebagaimana kalian bertengkar di awal kalian dipertemukan. Masing-masing memiliki pandangan gambar tersendiri yang menurutnya paling benar. Tapi hanya dengan diskusi yang tenang dan tidak gampang terpancing emosi serta semangat untuk menemukan jawaban sajalah akhirnya sebuah kesepakatan atas sebuah masalah dan solusinya bisa ditemukan. Ingat hanya dengan diskusi dengan kepala dingin saja, perbedaan paradigma itu bisa dipersatukan dan usaha untuk memunculkan solusi akan jauh lebih mudah.
Oleh-oleh dari buku Seven Habits of Highly Effective People. Karya Steven Covey dengan terjemahan bebas rasa Anas.

Tuesday, September 13, 2011

Melihat Kepribadian dari Cara Makan Tempe Penyet


Aku dan istriku adalah dua orang fans makanan yang satu ini. Ya, tempe penyet. Sebuah hidangan yang jamak dijumpai di Surabaya terutama di daerah sekitar kampus. Setelah kami menikah, kami pun tetap suka dengan tempe penyet karena kesederhanaan dan kecepatan penyajiannya terutama. Inilah fast food asli Indonesia.

Setelah beberapa kali kami makan malam bersama, ternyata ada beberapa temuan yang kudapatkan ketika menyantap tempe penyet,

1. Aku dan istriku ternyata memiliki kebiasaan dan karakter yang berbeda pada masing-masing kami.

2. Meskipun berbeda, aku melihatnya sebagai sebuah keseimbangan, yang satu melengkapi yang lain.

3. Istriku lebih spontan dan kreatif, ia cenderung lebih terbuka dan menyukai kejutan-kejutan.

4. Sedangkan diriku lebih teratur, rapi, langkah yang tertata, dan senang dengan kesempurnaan.

Dua kepribadian yang berbeda ini menghasilkan cara makan yang berbeda. Istriku ketika menghadapi tempe penyet, ia langsung akan menyiramkan sambal dan mencampurnya dengan rata dengan nasi. Sedangkan diriku, akan memisahkan sayuran, nasi, lauk pauk dan sambal. Aku akan mengambil sedikit demi sedikit dan berusaha agar kesemuanya akan habis pada saat yang bersamaan.

Meskipun berbeda, kami tidak keberatan dengan perbedaan ini, bahkan seringkali perbedaan inilah yang menjadi bumbu dalam kehidupan rumah tangga kami. Yang satu lebih spontan dan kreatif, dan yang lain lebih teratur dan konsisten.

Mungkin lebih banyak lagi cara makan dan kepribadian lain yang bisa disaksikan selain kami berdua. Semoga tambahan ini bisa menjadi pengetahuan baru dalam ilmu Psikologi.

Komentar dan pertanyaan bisa dituliskan di bawah tulisan ini pada kolom komentar.

Wallahu A’lam bish Showab