Friday, April 22, 2011

Antara Logika dan Emosi

Ketika berbicara masalah logika dan emosi yang terbayang di sebagian besar orang adalah agungnya logika dan hinanya emosi. Tapi yang saya dapatkan tadi malam ketika membaca sebuah buku sungguh jauh berbeda. Di buku tersebut si penulis menyatakan bahwa sebagian besar orang yang sukses bukanlah orang yang mengandalkan logika. Sebaliknya, orang yang sukses adalah orang yang memberikan emosi yang terbaik dari dirinya.

Sumber kekuatan orang bukan di logika tapi di emosi. Mengapa orang melakukan sesuatu itu dikarenakan sebuah emosi, bukan logika. Tidak percaya, kita ingat kisah orang-orang Jahiliyah di jaman Rasulullah. Bila mereka ditanya apakah mereka tahu bahwa Muhammad adalah orang jujur? Pasti mereka menjawab iya betul Muhammad adalah orang yang jujur. Kejujuran Muhammad tidak terbantahkan. Dia tidak sekalipun pernah berkata bohong.

Namun yang terjadi ketika mereka diminta bersyahadat, mereka malah tidak mau. Begitu juga dalam Qur'an. Bila ditanya siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Siapakah yang menciptakan pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang memberikan rizki dan mengatur segala urusan? Semua akan menjawab Allah. Namun mengapa mereka tidak beriman.

Semua kembali kepada emosi mereka. Mereka sudah cinta dengan yang namanya adat budaya nenek moyang mereka. Mereka suka setengah mati dengan kebiasaan di kampung dan lingkungan. Bila kemudian mereka diminta untuk hanya taat dan patuh pada Allah dan Rasul-Nya, hal itu jelas melukai rasa cinta yang mereka miliki terhadap budaya nenek moyang mereka. Lama kelamaan rasa yang tidak cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya menjadi benci pada Allah dan Rasulnya. Jadi antara logika yang membenarkan suatu peristiwa tidak diikuti dengan rasa cinta, menjadikan sebuah kejahiliyahan, kebodohan.

Dan kebenaran yang disertai dengan rasa cinta terhadap kebenaran itu disebut oleh Qur'an dengan bahasa HIDAYAH. Yang mendorong Abu Thalib tidak beriman adalah rasa cintanya terhadap agama nenek moyangnya meski dia tahu bahwa keponakannya adalah orang yang membawa kebenaran. Ia sudah cinta mati dengan budaya nenek moyangnya.

Yang mendorong Umar bin Khattab masuk Islam adalah rasa cintanya terhadap kebenaran bukan kebiasaan. Sehingga ketika ia sadar bahwa Islam adalah sesuatu yang benar ia spontan melakukan oleh seorang yang jatuh cinta, ia memeluk yang dicintai.

Logika dibutuhkan untuk menimbang dan memperkirakan, sebuah peristiwa apakah akan diterima oleh diri manusia atau tidak. Namun pelaksanaan dan aksi berikutnya adalah domain emosi atau perasaan. Bahkan aksi manusia untuk menimbang itupun sudah masuk dalam domain emosi.

Bila anda sudah memikirkan bahwa yang anda lakukan adalah sesuatu yang benar, namun belum ada kerja nyata, berarti emosi anda belum tersulut oleh kebenaran anda. Ia mungkin sedang dalam pengaruh emosi yang lain. Yang harus anda lakukan adalah membangun sebuah emosi. Apa yang akan anda rasakan bila anda melaksanakannya? Bangun emosi cinta terhadap kebenaran anda.

Apakah orang-orang yang sukses di dunia ini adalah orang yang menggunakan logikanya? Tidak, mereka menggunakan emosinya. Karena emosi, mereka tetap berbuat, bekerja dan berkarya. Ketika emosi mereka tersulut, mereka akan bekerja dengan penuh semangat dan penjiwaan. Aksi yang dimotori oleh emosi atau tidak yang nantinya membedakan kemenangan dan kegagalan.


Wallahu A'lam Bish Showab.

No comments:

Post a Comment